BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Demam typhoid pada masyarakat dengan standar hidup
dan kebersihan rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya
anka kejadian tinggi pada daerah tropik dibandingkan daerah berhawa dingin.
Sumber penularan penyakit demam typhoid adalah penderita yang aktif, penderita
dalam fase konfalesen, dan kronik karier. Demam typhoid juga dikenali dengan
nama lain yaitu Typus Abdominalis, Typhoid Fever, atau Enteric Fever. Demam
typhoid adalah penyakit sistemik yang akut yang mempunyai karakteristik demam,
sakit kepala, dan ketidakenakan abdomen berlangsung lebih kurang 3 minggu, yang
juga disertai perut membesar, limpa dan erupsi kulit. Demam typhoid (termasuk
para-typhoid) disebabkan oleh kuman salmonella typhi, S parathypi A, S
parathypi B, dan S parathypi C. Jika penyebabnya adalah S parathypi gejalanya
lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh S thypi.
Demam typhid abdominalis atau demam typhoid masih
merupakan masalah besar di Indonesia bersifat sporadik endemik dan timbul
sepanjang tahun. Kasus demam typhoid di Indonesia, cukup tinggi berkisar antara
354-810/100.000 penduduk per tahun. Di Palembang dari penelitian retrospektif
selama periode 5 tahun (2003-2007) didapatkan sebanyak 3 kasus (21,5 %)
penderita demam typhoid dengan hasil biakan darah salmonela positif dari
penderita yang dirawat dengan klinis demam thypoid (Rajan L. Fernando, 2001).
Sekarang ini penyakit typhoid abdominalis masih
merupakan masalah yang penting bagi anak dan masih menduduki masalah yang
penting dalam prevalensi penyakit menular. Hal ini disebabkan faktor hygiene
dan sanitasi yang kurang, masih memegang peranan yang tidak habis diatas satutahun,
maka memerlukan perawatan yang khusus karena anak ini masih dalam taraf
perkembangan dan pertumbuhan. Dalm hal ini perawatan dirumah sakit dianjurkan
untuk mendapatkan perawatan isolasi untuk mencegah komplikasi yang lebih berat
(Suharyo hadisaputra, 1989, dan Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985).
Komplikasi sering terjadi pada keadaan hipertermi,
toksemia berat, ada kelemahan yang umum agar kematian akibat komplikasi dapat
dihindari (Soedarto, 1992)
Penyakit
typhoid termasuk penyakit yang mengakibatkan angka kejadian luar biasa (KLB)
yang terjadi di Jawa Tengah, pada tahun 2003 menempati urutan ke 21 dari 22
(4,6 %) penyakit yang tercatat. Meskipun hanya menempati urutan ke 21, penyakit
typhoid memerlukan perawatan yang komperehensif, mengingat penularan salmonella
thypi ada dua sumber yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien dengan
carier. Pasien carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan terus
mengekspresi salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1
tahun.
Peran perawat terhadap masalah ini adalah pemberi
asuhan keperawatan kepada klien dan anggota keluarga yang sakit, sebagai
pendidik kesehatan, dan sebagai fasilitator agar pelayanan kesehatan mudah
dijangkau dan perawat dengan mudah dapat menampung permasalahan yang dihadapi klien
dan anggota keluarga serta membantu mencarikan jalan pemecahannya, misalnya
mengajarkan kepada klien dan anggota keluarga untuk mencegah agar tidak terjadi
penyakit tifus. Alasan klien dan anggota keluarga sebagai sasaran asuhan
keperawatan karena klien dan anggota keluarga merupakan anggota terkecil dari
masyarakat yang harus di bina , di kenalkan terlebih dahulu supaya dalam
pemberian asuhan keperawatan kepada klien dan anggota keluarga ini dapat
tercapai sesuai yang telah di targetkan.
Sedangkan peran klien dan keluarga lebih difokuskan
untuk menjalankan lima tugas keluarga dalam bidang kesehatan terkait dengan
adanya anggota kelurga yang menderita typhoid, lima tugas kelurga tersebut
antara lain adalah dapat mengenal masalah typhoid, membuat keputusan tindakan
kesehatan yang tepat, memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit,
mempertahankan atau menciptakan suasana rumah yang sehat, serta dapat
menggunakan pelayanan kesehatan yang tepat.
Dari latar belakang tersebut di atas, mendorong
penulis untuk memilih kasus keperawatan dengan judul : “Asuhan Keperawatan
Terhadap Ny.A Dengan Diagnosa Medis Demam Typhoid Di Ruang Anyelir
RSUD.Dr.H.Abdul Moeloek Provinsi Lampung”.
B.
Tujuan
Penulisan
1. Tujuan
Umum
Mengetahui
atau mendeskripsikan asuhan keperawatan terhadap Ny. A dengan diagnosa medis typhoid
di ruang anyelir RSUD.Dr.H.Abdul Moeloek Lampung
2. Tujuan
khusus
Adapun tujuan khusus
dari studi kasus ini adalah sebagai berikut:
a. Mendeskripsikan
pengkajian pada Ny. A dengan masalah utama typhoid.
b. Mendeskripsikan
masalah keparawatan dengan typhoid.
c. Mendeskripsikan
penyebab timbulnya masalah keperawatan klien dengan typhoid.
d. Mendeskripsikan
hambatan dan alternatif pemecahan masalah yang muncul pada asuhan keperawatan
klien dengan typhoid.
e. Mengetahui
implementasi secara komperehensif dari tahap pengkajian, tindakan yang telah
dilakukan, dan evaluasi dari tindakan.
C.
Metode
dan Teknik Penulisan
Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode
deskriptif dengan pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian,
priorotas masalah, pelaksanaan dan evaluasi. Sedangkan teknik penulisan yang
digunakan sebagai berikut:
1. Studi
Pustaka
Studi pustaka merupakan
penunjang sebagai acuan yang digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan,
diambil dari bahan pustaka yang berhubungan dengan studi kasus.
2. Wawancara
Yaitu dengan melakukan
wawancara dengan klien dan anggota keluarga yang menunggu untuk memperoleh
data-data, khususnya yang terkait khususnya yang terkait dengan thypoid dan
tugas-tugas kesehatan serta fungsi kesehatan dalam keluarga sesuai dengan masalah
yang di hadapi.
3. Observasi
Yaitu dengan melakukan
observasi, dengan cara mengamati perilaku dan kondisi lain, misalnya lingkungan
yang berkaitan dengan faktor yang mungkin menyebabkan typhoid, atau lingkungan
yang mungkin dapat mengakibatkan kambuhnya pada penderita thypoid.
BAB II
KONSEP DASAR
A.
Definisi
Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever)
adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan
dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran pencernaan
dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
B.
Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella
tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang
jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s. Typhi cendrung untuk
menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yang lain. (Ashkenazi et
al, 2002)
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif
yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan
strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas,
tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara
aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent
terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º
F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat
hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat
bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makannan kering,
agfen farmakeutika an bahan tinja. (Ashkenazi et al, 2002)
Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen
flagella HH. Antigen O adlah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil
terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas. (Ashkenazi et
al, 2002)
C.
Patogenesis
Salmonella
typhi hanya dapat menyebabkan gejala demam tifoid pada manusia. Salmonella
typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. Kuman
berspora, motile, berflagela,berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal
37ºC (15ºC-41ºC), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang
mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,4ºC selama satu jam,
dan 60ºC selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama.
Salmonella memunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun
tidak terhadap laktosa dan sukrosa. Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari
3 proses, yaitu
a.
proses invasi kuman S.typhi ke dinding
sel epitel usus,
b.
proses kemampuan hidup dalam makrofag
dan
c.
proses berkembang biaknya kuman dalam
makrofag.
Akan tetapi
tubuh mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk menahan dan membunuh kuman
patogen ini, yaitu dengan adanya
a.
mekanisme pertahanan non spesifik di
saluran pencernaan, baik secara kimiawi maupun fisik, dan
b. mekanisme
pertahanan spesifik yaitu kekebalan tubuh humoral dan selular.
Kuman
Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan dengan
makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai di lambung maka
mula-mula timbul usaha pertahanan non-spesifik yang bersifat kimiawi yaitu
adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang dihasilkannya. Ada
beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat melewati barier asam
lambung, yaitu jumlah kuman yang masuk dan kondisi asam lambung.
Untuk
menimbulkan infeksi diperlukan S.typhi sebanyak 105-109
yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat menghambat
multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh
dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrotektomi, hipoklorhidria atau
aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada keadaan tersebut
S.typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh.
Sebagian kuman
yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme pertahanan
lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha menghanyutkan
kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan
peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan
merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang
akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme
pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus.
Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria,
berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh monosit dan makrofag.
Namun demikian S.typhi dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit
karena adanya perlindungan oleh kapsul kuman.
D. Gejala Klinis
Keluhan
dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu
ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ.
Secara klinis gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan,
gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.
1. Panas
lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin meninggi,
sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.
2. Gejala
gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung,
hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
3. Gejala
saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai koma.
(Darmowandowo,
2006)
E.
Diagnosa
1. Amanesis
2. Tanda
klinik
3. Laboratorik
a.
Leukopenia, anesonofilia
b.
Kultur empedu (+) : darah pada minggu I ( pada minggu
II mungkin sudah negatif); tinja minggu II, air kemih minggu III
c.
Reaksi widal (+) : titer > 1/200. Biasanya baru
positif pada minggu II, pada stadium rekonvalescen titer makin meninggi
d.
Identifikasi antigen : Elisa, PCR. IgM S typphi dengan
Tubex TF cukup akurat dengan
e.
Identifikasi antibodi : Elisa, typhi dot dan typhi dot
M
(Darmowandowo, 2006)
F.
Diagnosa
Banding
1. Influenza
2. Bronchitis
3. Broncho
Pneumonia
4. Gastroenteritis
5. Tuberculosa
– Lymphoma
6. Malaria
7. Sepsis
8. I.S.K
9. Keganasan-Leukimia
(Darmowandowo,
2006)
G.
Penatalaksanaan
Pengobatan
penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif meliputi
istirahat dan diet, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang
terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas
demam atau kurag lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai
dengan pulihnya kekuatan pasien. (Mansjoer, 2001)
Diet
dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur saring,
kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien.
Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat dini
yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat
kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga perlu diberikan vitamin dan mineral
untuk mendukung keadaan umum pasien. (Mansjoer, 2001)
Pada
kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan intensif
dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa
obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid perlu
diberikan pada renjatan septik. (Mansjoer, 2001)
H.
Pengobatan
Medakamentosa
Obat-obat
pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin dan kotrimoksasol.
Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga
adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.
1.
Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg
BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari.
Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diberi
2.
ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi
dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat, selama 21
hari, atau
3.
amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari,
terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari
4.
kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari
terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral, selama 14 hari.
Pada
kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan
diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama
5-7 hari. Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah
meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon. (Darmowandowo, 2006)
I.
Komplikasi
Komplikasi
demam tifoid dapat dibagi di dalam :
1. Komplikasi
intestinal
a. Perdarahan
usus
b. Perforasi
usus
c. Ileus
d. paralitik
2. Komplikasi
ekstraintetstinal
a. Komplikasi
kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi
darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi intravaskular
diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
c. Komplikasi
paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
d. Komplikasi
hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
e. Komplikasi
ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
f. Komplikasi
tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
g. Komplikasi
neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis perifer,
sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.
Pada
anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi
lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila
perawatan pasien kurang sempurna. (Mansjoer, 2001)
J.
Penatalaksanaan
Penyulit
Pengobatan
penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan manifestasi
nerologik menonjol, diberi Deksametason dosis tinggi dengan dosis awal 3 mg/kg
BB, intravena perlahan (selama 30 menit). Kemudian disusul pemberian dengan
dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang waktu 6 jam sampai 7 kali pemberian.
Tatalaksana bedah dilakukan pada kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus.
(Darmowandowo, 2006)
K.
Pencegahan
Pencegahan
demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan khusus/imunisasi.
Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi karena
perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid.
(Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan
pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar
Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan
terhadap penjual (keliling) minuman/makanan. (Darmowandowo, 2006)
Ada
dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang
diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah
vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral.
Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak direkomendasikan, vaksin tifoid
hanta direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat yang
demam tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan penderita karier tifoid
dan pekerja laboratorium. (Department of Health and human service, 2004)
Vaksin
tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-anak
kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu
haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya
memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap
dua tahun untuk orang-orang yang memiliki resiko terjangkit. (Department of
Health and human service, 2004)
Vaksin
tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang
dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah diperlukan
untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu minggu
sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis
ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih memiliki resiko
terjangkit. (Department of Health and human service, 2004)
Ada
beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu.
Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah
orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya,
maka ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak
boleh mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang
mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh
mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka
tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin
tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau
penyakit lain yang menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami
pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal
steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan
perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak
boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik. (Department
of Health and human service, 2004)
Suatu
vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem serius
seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya
serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis
vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi
ringan yang dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit
kepada (sekitar 3 orang per 100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi
injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi
ringan yang dapat terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100),
perut tidak enak, mual, muntah-muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi).
(Department of Health and human service, 2004)
BAB III
TINJAUAN KASUS
I. Pengkajian
A. Biodata
1.
Identitas Pasien
Nama
: Ny. A
Umur : 43 Tahun
Jenis
Kelamin : Perempuan
Status
Perkawinan : Menikah
Agama
: Islam
Suku
: Lampung
Pendidikan : SD
Pekerjaan
: Buruh
No
Rekam Medik : 602829
Tanggal
Masuk : Senin, 05 Maret 2012
Tanggal
Pengkajian : Senin, 05 Maret 2012
Alamat : jl. Nusa Indah, Rawa
Laut, Bandar Lampung
2.
Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn. A
Umur : 54 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pedagang
Hubungan Dengan Pasien : Suami
Alamat : jl. Nusa
Indah, Rawa Laut, Bandar Lampung
B.
Keluhan
Utama
Klien mengatakan mual
muntah, sakit kepala disertai demam, dan nafsu makan menurun.
C.
Riwayat
Kesehatan Sekarang
Klien datang dengan
keluhan mual, sakit kepala, disertai demam sejak 3 hari yang lalu, dan nafsu
makan menurun. Demam dirasakan naik turun, lebih tinggi pada sore hari
dibanding pagi dan siang hari. TD : 120/70 mmHg, N : 82 x/menit (kuat, cepat,
dan reguler), RR : 24 x/menit, T : 37,9̊ c .
D.
Riwayat
Kesehatan Dahulu
Klien mengatakan
tidak pernah menderita suatu penyakit dan tidak pernah di rawat dirumah sakit
sebelumnya.
E.
Riwayat
Kesehatan Keluarga
Klien mengatakan tidak
mempunyai penyakit keturunan.
F.
Data Fisik
1. Penampilan
Umum
a. Bentuk
tubuh : Lordosis
b. Individu
tampak sakit : kulit bersih, turgor
kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, dan akral hangat.
c. Kebersihan
secara umum: Kurang baik
2. Activity
Daily Living (ADL)
No
|
ADL
|
Di Rumah
|
Di Rumah Sakit
|
1.
|
Nutrisi
a. Makan
|
Klien makan nasi dengan sayur dan lauk pauk dengan porsi
sedang, tidak terdapat pantangan juga keluhan
|
Klien makan nasi bubur dengan sayur dan lauk pauk serta
buah-buahan dengan porsi lebih sedikit, pantangan makan makanan tinggi serat
dan pedas seperti cabe dan merica, pada lima hari pertama buah-buahan juga
tidak diperkenankan kecuali air jeruk yang di minum sesudah makan.
|
b. Minum
|
Klien minum air putih ± 1,5 liter/hari
|
Klien minum air putih ± 2,5 liter/hari dan air jeruk
sesudah makan
|
|
2.
|
Istirahat dan tidur
a.
Malam
|
Tidur selama ± 8 jam dari 21.00-05.00 WIB dengan pennerangan yang cukup |
tidur selama ± 5 jam dari pukul 23.00-04.00 WIB dan kadang terbangun dengan pennerangan cukup. Klien juga sukar dalam tidur. |
b.
siang
|
Tidur selama ± 2 jam dari pukul 13.00-15.00 WIB, tidak
terdapat kesukaran dalam tidur.
|
Tidur selama ± 1jam dengan waktu yang tidak tentu, sering terbangun
dari tidur.
|
|
3.
|
Eliminasi
a.
BAK
|
4-5 kali sehari, urine berwarna kuning.
|
2-3 kali sehari, urine berwarna kuning jernih , tidak
terdapat kesulitan saat BAK, tempat BAK ke WC dengan dibantu oleh anggota
keluarga.
|
b.
BAB
|
2 kali dalam sehari pada pagi hari dan sore hari, feses
berwarna kuning kecoklatan,lunak, dan tidak terdapat kesulitan saat BAB
|
1 kali sehari, feses berwarna kuning,lunak, dan tidak
terdapat kesulitan saat BAB, tempat BAB ke WC dengan dibantu keluarga.
|
|
4.
|
Personal Hygiene
a.
Mandi
|
klien mandi 2 kali sehari pada pagi dan sore dengan menggunakan sabun, sikat gigi 3x sehari |
klien mandi 1 kali sehari pada pagi hari dengan menggunakan sabun dan air hangat, sikat gigi 2x sehari. Klien mandi di tempat tidur dengan dibantu perawat dan anggota keluarga. |
b.
Berpakaian
|
Klien 2 kali ganti pakaian pada pagi dan sore hari.
|
Klien 1 kali ganti pakaian pada pagi hari.
|
|
5.
|
Mobilisasai dan aktivitas
|
Klien biasa melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa adanya
kesulitan.
|
Klien mampu untuk berbalik dari satu sisi tempat tidur ke
sisi yang lain.
Klien mampu bergerak dari telentang menjadi duduk.
Klien mampu merubah posisi ditempat tidur.
Klien tidak mampu untuk merubah posisi dari telentang
menjadi tengkurap.
Klien mampu pindah dari tempat tidur ke kursi roda
Klien mampu berjalan.
|
3. Pemeriksaan
Fisik
a. Keadaan
umum : Baik
b. Kesadaran : Composmentis GSC : 15 (E : 4,
V :5, M :6)
c. Keadaan
emosional : Baik
d. Tanda
vital
TD : 120/70
mmHg N : 82 x/menit
T : 37,9 ̊c RR : 22 x/menit
e. Pemeriksaan
Kepala : simetris,
bulat, tidak terdapat benjolan dan luka
Rambut : hitam
pendek, lurus, lembab, tidak terdapat ketombe.
Muka : simetris,
bersih, tidak oedem
Mata : simetris kiri
dan kanan, kelopak mata normal, konjungtiva anemia, sklera tidak icterik,
fungsi penglihatan baik.
Telinga : simetris,
bersih tidak terdapat serumen maupun pengeluaran cairan, fungsi pendengaran
baik.
Hidung : simetris
lubang kiri dan kanan, tidak terdapat pembesaran polip.
Mulut dan
tenggorokan : bibir pucat kering, lidah kotor, ditepi dan ditengah merah, gigi
lengkap putih bersih dan tidak caries, tidak terdapat pembesaran tonsil dan
tidak terdapat peradangan.
Leher : simetris,
tidak terdapat pembesaran kelenjar tyroid dan tidak terdapat pembengkakan
keljar limfe dan vena jugularis,
Dada : simetris, tidak
terdapat luka, pola pernafasan normal, tidak terdapat suara tambahan berupa
bunyi whezzing dan ronchi.
Abdomen : di daerah
abdomen di temukan nyeri tekan
Integumen : Kulit bersih, turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak,
akral hangat.
Ekstremitas : simetris, tidak terdapat fraktur dan berfungsi
dengan baik (ekstremitas atas) . simetris, tidak terdapat parises fraktur dan
berfungsi dengan baik (ekstremitas bawah)
H. Data Psikologis,Sosiologis, dan Spiritual
Psikologis : Klien tampak gelisah
Sosiologis : tidak terdapat keluhan
Spiritual : perlu dibantu dalam beribadah
I. Data Penunjang
Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 05 maret 2012
1.
Hasil pemeriksaan
laboratorium kimia darah
Colestrol : 146
HDL : 28
LDL : 103
Trigliserida : 40
Gula Darah Nacture : 110
Gula Darah 2 Jam PP : 90
2.
Hasil pemeriksaan
laboratoriu imunologi dan serologi
Typhi H antigen : + , Titer 1/80
Typhi O antigen : + , Titer 1/80
Para Typhi A-O antigen : + , Titer 1/80
Para typhi B-O antigen :
+, Titer 1/80
3.
Hasil pemeriksaan
laboratorium hematologi
Hemoglobin : 6,5 , normal = laki-laki : 13,5-18,0 gr/dl
Wanita : 12,0-16,0 gr/dl
Hematokrit : 25%, normal
= laki-laki : 40-54%
Wanita : 38-47%
LED : 30
Hitung jenis
Bashopil : 0
Eosinophil : 0
Batang : 0
Begmen : 73
Limfosit : 18
Monosit : 9
Trombosit : 413.000, normal : 150.000-400.000 ᵪ/1
Leukosit : 7.300
4.
Hasil pemeriksaan urine
lengkap
Warna : kuning
Kejernihan : jernih
Berat jernih : 1.020
pH : 6
Nitrit : -
Protein : -
Glikose : -
Keton : -
Urobilinogen : -
Bilirubin : -
II. Analisa Data
Data
|
Etiologi
|
Rasional
|
Klien datang dengan keluhan demam
sejak 3 hari yang lalu
|
Hipertermi
|
Infeksi Salmonella Typhii
|
Keluarga mengeluh klien hanya makan
sedikit
|
Anoreksia
|
Anoreksia
|
Klien mengeluh lemas
|
Intoleransi Aktivitas
|
Kelemahan atau bedrest
|
Klien mengeluh mual muntah
|
Hipovolume
|
Pengeluaran cairan yang berlebihan
|
III. Diagnosa Keperawatan
1.
Peningkatan suhu tubuh
berhubungan dengan infeksi Salmonella Typhii
2.
Gangguan pemenuhan
kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia
3.
Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan kelemahan/bedrest.
4.
Gangguan keseimbangan
cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan pengeluaran cairan yang
berlebihan (diare/muntah).
IV. Rencana Keperawatan
Tanggal |
Diagnosa
Keperawatan dan Data Penunjang
|
Tujuan |
Rencana
Tindakan Keperawatan
|
Rasional |
5 maret 2012
|
Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi
salmonella typhii
DS : klien mengatakan demam
DO : T : 37,9̊ C
|
Setelah dilakukan askep selama 3x24 jam diharapkan
peningkatan suhu tubuh dapat teratasi/ suhu tubuh normal atau terkontrol
|
1.
Berikan penjelasan kepada
klien dan keluarga tentang peningkatan suhu tubuh
2.
Anjurkan klien
menggunakan pakaian tipis dan menyerap keringat
3.
Batasi pengunjung
4.
Observasi TTV tiap 4 jam
sekali
5.
Anjurkan pasien untuk
banyak minum, minum ±2,5 liter / 24 jam.
6.
Memberikan kompres
hangat.
7.
Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian tx antibiotik dan antipiretik
|
1.
agar klien dan keluarga
mengetahui sebab dari peningkatan suhu dan membantu mengurangi kecemasan yang
timbul.
2.
untuk menjaga agar klien
merasa nyaman, pakaian tipis akan membantu mengurangi penguapan tubuh.
3.
agar klien merasa tenang
dan udara di dalam ruangan tidak terasa panas.
4.
tanda-tanda vital
merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien
5.
peningkatan suhu tubuh
mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan
asupan cairan yang banyak
6.
untuk membantu menurunkan
suhu tubuh
7.
antibiotik untuk mengurangi
infeksi dan antipiretik untuk menurangi panas.
|
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang
dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia
DS : klien mengatakan makan hanya
sedikit
DO : klien terlihat tidak menghabiskan
makanan yang diberikan.
|
Setelah dilakukan askep selama 3x24 jam diharapkan gangguan pemenuhan
kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan dapat teratasi, Pasien mampu
mempertahankan kebutuhan nutrisi adekuat.
-
Nafsu makan meningkat
-
Pasien mampu menghabiskan
makanan sesuai dengan porsi yang diberikan
-
|
1.
Jelaskan pada klien dan
keluarga tentang manfaat makanan/nutrisi.
2.
Beri nutrisi dengan diet
lembek, tidak mengandung banyak serat, tidak merangsang, maupun menimbulkan
banyak gas dan dihidangkan saat masih hangat.
3.
Beri makanan dalam porsi
kecil dan frekuensi sering.
4.
Kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian antasida dan nutrisi parenteral.
|
1.
untuk meningkatkan
pengetahuan klien tentang nutrisi sehingga motivasi untuk makan meningkat.
2.
untuk meningkatkan asupan
makanan karena mudah ditelan.
3.
untuk menghindari mual
dan muntah.
4.
antasida mengurangi rasa mual
dan muntah.
Nutrisi parenteral dibutuhkan terutama jika kebutuhan nutrisi per oral sangat kurang. |
|
Intoleransi aktivitas berhubungan
dengan kelemahan/bedrest.
DS : klien mengatakan lemas
DO : K/U lemah dan tidak sering
melakukan mobilisasi
|
Setelah dilakukan askep selama 3x24 jam diharapkan
intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahaan dapat teratasi, pasien bisa melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS)
optimal.
-
Kebutuhan personal
terpenuhi
-
Dapat melakukan gerakkan
yang bermanfaat bagi tubuh
- memenuhi AKS dengan teknik penghematan energi
|
1.
Beri motivasi pada pasien
dan kelurga untuk melakukan mobilisasi sebatas kemampuan (missal. Miring
kanan, miring kiri).
2.
Kaji kemampuan pasien
dalam beraktivitas (makan, minum).
3.
Dekatkan keperluan pasien
dalam jangkauannya.
4.
Berikan latihan mobilisasi
secara bertahap sesudah demam hilang.
|
1.
agar pasien dan keluarga
mengetahui pentingnya mobilisasi bagi pasien yang bedrest.
2.
untuk mengetahui sejauh
mana kelemahan yang terjadi.
3.
untuk mempermudah pasien
dalam melakukan aktivitas.
4.
untuk menghindari kekakuan sendi
dan mencegah adanya dekubitus.
|
|
Gangguan keseimbangan cairan (kurang
dari kebutuhan) berhubungan dengan cairan yang berlebihan (muntah)
DS : klien mengatakan mual muntah
sejak 3 hari yang lalu
DO : klien terlihat pucat dan terlihat
mual ingin muntah
|
Setelah di lakukan askep selama 3x24 jam gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan)
berhubungan dengan cairan yang berlebihan (muntah) dapat teratasi atau tidak
terjadi gangguan keseimbangan cairan
-
Turgor kulit meningkat
-
Wajah tidak nampak pucat
|
1.
Berikan penjelasan
tentang pentingnya kebutuhan cairan pada pasien dan keluarga.
2.
Observasi pemasukan dan
pengeluaran cairan.
3.
Anjurkan pasien untuk
banyak minum ±2,5 liter/ 24 jam
4.
Observasi kelancaran
tetesan infuse.
5.
Kolaborasi dengan dokter untuk
terapi cairan (oral / parenteral).
|
1.
untuk mempermudah
pemberian cairan (minum) pada pasien.
2.
untuk mengetahui
keseimbangan cairan.
3.
untuk pemenuhan kebutuhan
cairan.
4.
untuk pemenuhan kebutuhan
cairan dan mencegah adanya odem.
5.
untuk pemenuhan kebutuhan cairan
yang tidak terpenuhi (secara parenteral).
|
V.
Implementasi
No.
|
Tanggal
|
Pukul
|
Pelaksanaan
Tindakan
|
1.
|
05 Maret 2012
|
07.00
|
1.
Berikan penjelasan kepada
klien dan keluarga tentang peningkatan suhu tubuh
2.
Anjurkan klien
menggunakan pakaian tipis dan menyerap keringat
3.
Batasi pengunjung
4.
Observasi TTV tiap 4 jam
sekali
5.
Anjurkan pasien untuk
banyak minum, minum ±2,5 liter / 24 jam.
6.
Memberikan kompres
hangat.
7.
Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian tx antibiotik dan antipiretik
|
2.
|
05 Maret 2012
|
07.00
|
1.
Jelaskan pada klien dan
keluarga tentang manfaat makanan/nutrisi.
2.
Beri nutrisi dengan diet
lembek, tidak mengandung banyak serat, tidak merangsang, maupun menimbulkan
banyak gas dan dihidangkan saat masih hangat.
3.
Beri makanan dalam porsi
kecil dan frekuensi sering.
4.
Kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian antasida dan nutrisi parenteral
|
3.
|
05 Maret 2012
|
12.00
|
1.
Beri motivasi pada pasien
dan kelurga untuk melakukan mobilisasi sebatas kemampuan (missal. Miring
kanan, miring kiri).
2.
Kaji kemampuan pasien
dalam beraktivitas (makan, minum).
3.
Dekatkan keperluan pasien
dalam jangkauannya.
4.
Berikan latihan mobilisasi
secara bertahap sesudah demam hilang.
|
4.
|
05 Maret 2012
|
15.00
|
1.
Berikan penjelasan
tentang pentingnya kebutuhan cairan pada pasien dan keluarga.
2.
Observasi pemasukan dan
pengeluaran cairan.
3.
Anjurkan pasien untuk
banyak minum ±2,5 liter/ 24 jam
4.
Observasi kelancaran
tetesan infuse.
5.
Kolaborasi dengan dokter untuk
terapi cairan (oral / parenteral).
|
VI.
Evaluasi
1. Dx : peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi
salmonella typhii.
Evaluasi : suhu tubuh normal (36̊ C) atau terkontrol.
2. Dx : gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan anoreksia.
Evaluasi : Pasien mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi
adekuat.
3. Dx : intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bedrest.
Evaluasi : pasien bisa melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari
(AKS) optimal.
4. Dx : gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan)
berhubungan dengan pengeluaran cairan yang berlebihan (diare/muntah)
Evaluasi : kebutuhan cairan terpenuhi
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Demam
tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut
yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih
dari 7 hari, gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran.
2. Demam
tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi
A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain.
3. Demam
yang disebabkan oleh s.Patogenesis
demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu proses invasi
kuman S.typhi ke dinding sel epitel usus, proses kemampuan hidup dalam makrofag
dan proses berkembang biaknya kuman dalam makrofag.
4. Secara
klinis gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan
fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.
5. Pengobatan
penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif meliputi
istirahat dan diet, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang
terjadi).
6. Pencegahan
demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan khusus/imunisasi.
7. Asuhan
keperawatan terhadap Ny. A selama 3x24 jam di ruang anyelir RSUD.Dr.H.Abdul
Moeloek menghasilkan demam turun, mual muntah hilang, nutrisi terpenuhi, dapat
melakukan aktivitas sehari-hari secara optimal, dan kebutuhan cairan terpenuhi.
B. Saran
1.
Diharapkan masyarakat dapat menjaga kebersihan terutama
jamban yang banyak mengandung mikroorganisme pembawa penyakit.
2.
Diharapkan masyarakat dapat menjaga kebersihan makanan
dan minuman yang di konsumsi agar terhindar dari banyak macam penyakit termasuk
typhoid.
3.
Diharapkan masyarakat dapat mengubah gaya hidup menjadi
gaya hidup sehat.
Diharapkan masyarakat dapat menjaga daya tahan
tubuh agar terhindar dari segala macam penyakit.